Senin, 15 Juni 2015

cerpen paman akir

Dilematis Sang Filosof Muda
Antara dua pilihan yang sulit aku tentukan. Itulah yang aku alami saat ini, saat dimana kedua dari pilihan ini sulit untukku tentukan yang mana. “ahhh apa memang harus begini” gumamku dalam hati. Entah bagaimana dan mengapa aku harus melakukan pilihan, kadang aku merasa aku harus memilih satu dan meninggalkan yang satunya, tapi dari keduanya akan menentukan masa depanku. Mau pilih yang ini, masa depanku akan begini, mau pilih yang itu, masa depanku akan begitu. “ya Allah, mana yang hamba harus lakukan?”.
                “kamu sebaiknya tinggal dulu Kir, disini banyak yang akan dikaji” kata Nafis, teman yang paling disegani di tempat ku saat ini.
aku bingung Fis, aku harus menentukan yang mana, aku tau dengan berada di sini aku akan lebih mendaptkan pengetahuan
                “lantas apa yang membuat kamu binggung Kir, bukankah kita selalu diajarkan untuk bagaimana menentukan sikap dalam mengambil keputusan yang kita jalani, ingat kata-kata ustadz Dhofir Kir, masa depanmu tergantung bagaimana kamu mengamambil sikap saat ini.” Nafis mencoba memberikan stimulus agar aku bias mengambil sikap.
                Dalam umur aku mungkin lebih tua daripada Nafis, selisih 2 tahun, tapi dalam keilmuan dan pola pikir aku jauh dibawahnya. Dia sangat disegani di sini karena daya nalarnya yang begitu tinggi. Memang setiap malam pas ada kajian-kajian, kita sebagai santri selalu didoktrin oleh ustadz Dhofir agar bias mengambil sikap, agar pola pikir dan pola sikap kita dewasa. Ustadz Dhofir selalu mengatakan kepada kita, “manusia pada dasarnya dilahirkan memiliki hak untuk sukses, jadi ambillah hak anda anak muda”. Banyak kata-kata mutiara yang ditanamkan kepada kepala santri-santri oleh ustadz Dhofir, tujuannya hanya ingin melihat para santrinya tidak terpaku terhadap masa lalunya. “sekotor apapun masa lalu kamu, ingat masa depan kamu sangat suci, jadi jangan kamu kotori masa depan kamu”. Ini adalah salah satu kata yang menjadi landasan hidupku saat ini, masa laluku memang kotor.
                Sebelum berada disini, aku adalah orang yang hidupnya tidak karuan, melakukan apa saja yang penting heppy, tidak memikirkan semua yang dilakukan apakah tidak keluar dari ranah agama, ya tapi itulah hidup orang yang tidak tuntas dalam berdialog dengan agama.
                “kenapa kamu merenung Kir?” kata ustadz Dhofir mengagetkanku saat aku lagi duduk sendiri dilantai dua sambil memainkan gitar.
                “ndak apa-apa pak, saya Cuma duduk-duduk biasa saja pak” jawabku sambil bingung kapan ustadz Dhofir datang.
                “saya tahu kamu bingung dengan pilihan yang ada dikepalamu Kir, kamu ingin pulang kan?, tapi kamu masih berat untuk pulang karena begitu banyak yang akan dipelajari di sini
                “enggih pak, orang tua saya selalu menanyakan kapan saya pulang pak, saya masih belum mengatakan kapan saya pulang, karena saya masih bingung mau pulang cepat atau pulang nanti saja pak” saya mencoba menceritakan kepada ustadz Dhofir apa yang membuat saya bingung.
                “Kamu harus bias mengambil sikap Kir, kamu harus bias memilih salah satu dari keduanya
                “enggih pak
                “dari yang kamu pilih, kamu harus bias membuat orang lain yakin, lebih-lebih meyakinkan dirimu sendiri kir” ustadz Dhofir mencoba menggiring pemikiranku agar bias mengambil sikap.
                “apa pun yang kamu pilih, itu harus meyakinkan, lebih-lebih meyakinkan dirimu sendiri, jika kamu memilih untuk pulang, maka yakinlah dengan pilihanmu, dan jika kamu memilih untuk diam disini, maka kamu harus bias meyakinkan orang tuamu”. Sambungnya mencoba ntuk meyakinkan ku.
                Sore menjelang, matahari mulai merunduk untuk brsemayam dikandangnya, matahari sudah mau ditelan gelap malam untuk digantikan dengan lahirnya rembulan. Aku masih berada di lantai dua, kali ini aku berada di luar. Setelah sekian lama duduk merenung ditemani rokok trubus seharga 5 ribu, aku dikagetkan oek hentakan dari temanku yang jahil.
                “sampean lagi apa mas box” Tanya Heri setelah mengagetkanku dengan sebuah papan kecil yang dijatuhkan di samping kananku. Heri biasa memanggilku Bokir, kadang disingkat dengan sebutan Box.
                “sampean mengagetkan aku aja Her
                “Sampean dari tadi pagi aku lihat merenung terus di atas, sampean masih memikirkan tentang rencana pulang ya
                “ndak juga Her, aku Cuma males aja turun, di bawah juga paling gini” jawabku sambil mengisap rokok yang baru aku hidupkan.
                “ooo ya Her, tugas ampean sudah jadi belum?” aku mencoba mengaluhkan pembicaraan agar Heri tidak menanyakan tentang sesuatu yang membuatku bingung lagi.
                “ya kalau sampean belum jadi, aku juga belum Box, kitakan satu” jawabnya sambil tertawa.
                “ahh sampean , sudah kita salat magrib aja yuk, itu Onok sudah mau azan”.
                Ya beginilah, setelah hampir seharian merenungi masalah sepele yang sulit untuk aku pilih ini. Aku mencoba mencari dengan menenangkan diri sejenak dengan salat magrib, istighasah, zikir, dan membaca al-qur’an beberapa lembar saja. “ya Allah mana yang harus hamba pilih, jika memilih diam bantu hamba menjelaskan kepada orang tua dengan semua ini, dan jika memilih pulang, yakinkan dalam hati hamba agar tidak ada penyesalan nantinya, hamba bener-bener sulit untuk mengambil sikap ya Allah”.
                “Akir turun makan”  teriakan Saipul memanggilku untuk makan.
                “ya Pul
                “sampean kok merenung terus Kir, masak pilihan yang sepele gitu sampean tidak bisa mengambil sikap” gumam Nafis kepadaku
                “kalau sampean begitu terus, buat apa sampean belajar filsafat” ditambah Heri yang mencoba memojokkanku.
                “bukankah filsafat lahir dari rasa heran” aku mencoba mengeluarkan diri dari pojoan-pojoan yang dilakukan oleh teman-temanku ini.
                “filsafat memang lahir dari rasa heran, tapi herannya sampean sama herannya Thales[1] itu berbeda. Sampean hal yang begitu saja bingung, apalagi yang lebih nantinya pas sampean memiliki peran di masyarakat. Sudahlah kalau sampean mau pulang, ya sampean pulang saja, dan kalau bias jangan kembali lagi kesini, STF tidak membutuhkan orang yang memiliki pola pikir dan pola sikap tembek kayak sampean, masak begitu saja dibingungin” kata-kata Nafis dengan nada yang sedikit berbeda dari sebelumnya.
                “ayok ahh makan dulu,natar debatnya dilanjutin, Cuma masalah seperti itu kok didebati segala” Yunus mencoba meneangkan dengan mengajak lapar.
                Mungkin disinilah akuitu harus bias mengambil sikap, apa yang saya pilih adalah pilihan saya, bukan pilihan atau bahkan paksaan dengan orang lain. Aku mau mengambil garis tengah diantara keduanya saja, “jika maku dibingungkan oleh dua hal yang sulit untuk kamu putuskan, maka ambillah garis tengah diantara keduanya[2]. “ya aku harus mengambil garis tengah”, kata-kata terbesit dalam hati, “jika keluargaku menyuruh aku untuk pulang cepat, sementara ada kajian yang sangat berat untuk  aku tinggalkan, ya aku harus bias mengambil jalan tengah dari deduanya, pulang agak sedikit lambat, dan mengikuti sebagian dari kajian yang akan dikaji”.
                Trrriinnggg…trrriinnggg ,
halo, assalamu’alaikum
wa’alaikumussalam, kapan kamu pulang nak?
nanti buk, saya masih banyak kegiatan disini buk, lagipula walaupun saya pulang, tidak ada yang saya kerjakan di rumah buk, sementara di sini saya bias belajar, menambah keilmuan saya buk, lebih-lebih pemahaman saya tentang agama”, aku mencoba menjelaskan kepada ibu yang selalu menanyakan kapan pulang.
ya lah nak tidak apa-apa, ibu syukur akhirnya sekarang kamu sudah mulai memikirkan tentang agama, kamu adalah harapan ibu nak, ibu tidak ingin kamu seperti ibu dan ayahmu yang tidak paham agama, belajarlah dulu nak, do’a ibu akan selalu tercurahkan untuk keberhasilanmu nak
terima kasih buk jika ibu mengerti sengan saya, saya pasti pulang kok buk, hanya saja mungkin agak terlambat, tapa saya pasti pulang” jawabku dengan sedikit lega karena ibu mengerti dengan keinginanku yang masih ingin menuntut ilmu.
ya nak, ya sudah sekarang kamu belajar ya, sudah jangan pikirin pulang dulu, nanti kalau kamu pulang, kamu sms kakak kamu saja untuk minta uang ongkos pulang, sekarang ibu mau berangkat jualan dulu
ya buk, assalamu’alaikum
wa’alaikumussalam nak
                “Alhamdulillah, akhirnya ibu mengerti juga walaupun aku terlambat pulang” gumamku dalam hati setelah telpon dimatikan dari seberang sana.
                “Akir
                “ya pak” jawab ku sambil sedikit tesenyum kepada ustadz Dhofir
                “kamu jadi pilang Kir?” Tanya ustadz Dhofir kepadaku.
                “nantilah pak, lagi pula saya belum dapat apa-apa dari sini untuk saya bawa pulang, entar jika saya pulang dan tidak membawa apa-apa, ini juga kan mengurangi refutasi STF pak” aku mencoba menjelaskan dengan sedikit keyakinan.
                “syukurlah Kir kalau kamu sudah bias mengambil sikap, ya sudah sekarang saya bisa minta tolong tidak sama Akir, tolong Akir pergi belikan nasi goreng dipasar, lalu diantarkan ke kos ya” sedikit tersenyum sambil memberikan uang kepadaku untuk membeli nasi goreng.
                “enggih pak”.
Rumah para filosof muda, 23 mei 2015.




[1] Thales: Filosof kosmosentris yang lahir pada tahun 640-546 SM, yang memiliki pandangan bahwa alam semesta berasal dari air.
[2] Salah satu kata-kata ibn Atha’illah dalam kitabnya al-hikam yang kita kaji pada setap hari senin.